Rabu, 21 Juli 2010

Melanjutkan Hidup Pasca Stroke

Rizaldy Pinzon, dr, MKes, SpS

Pengantar


Stroke adalah penyebab kematian dan kecacatan yang utama di seluruh dunia. Stroke memberikan dampak yang sangat bsar bagi para penderitanya. Dampak stroke juga akan berimbas pada keluarga penyandang stroke. Beban ekonomi yang ditimbulkan oleh stroke juga sedemikian besarnya. Stroke adalah kedaruratan medik, dan pada umumnya penderita stroke akan dirawat di RS.

Setelah menjalani perawatan di RS, ada 3 kemungkinan yang dialami oleh pasien stroke, yaitu : (1) meninggal dunia, (2) sembuh tanpa cacat, dan (3) sembuh dengan kecacatan. Penelitian menunjukkan angka kematian pada stroke berkisar antara 10%-30%. Sebagian kematian dialami dalam waktu 72 jam setelah serangan stroke, dan pada umumnya berhubungan langsung dengan strokenya (stroke yang besar atau lokasi stroke di batang otak).

Kematian yang dialami setelah 72 jam serangan stroke pada umumnya akibat komplikasi stroke ( misalnya: radang paru-paru). Stroke merupakan penyebab kematian nomor tiga, setelah penyakit jantung dan kanker. Stroke merupakan penyebab kecacatan nomor satu bagi para penyandangnya. Angka kematian akibat stroke di seluruh dunia masihlah tinggi. Kematian paling tinggi dijumpai pada 1 bulan pasca serangan stroke. Kematian akibat stroke ditemukan pada 10%-30% pasien yang dirawat. Masa kritis umumnya dijumpai pada minggu-minggu pertama pasca serangan stroke. Chen, dkk (2006) menyimpulkan bahwa 68,3% kematian terjadi pada 5 hari pertama perawatan di RS. Bila ada 10%-30% kematian akibat stroke, maka ada 70%-90% penderita yang hidup pasca stroke. Mereka ini disebut dengan stroke survivors? Bagaimana kelanjutan hidup para stroke survivors? Apa yang harus mereka lakukan?

Kecacatan akibat stroke

Bagaimana dengan kecacatan pasca stroke ? Bagaimana kecacatan pasca stroke diukur ? Kecacatan pasca stroke pada umumnya dinilai dengan kemampuan pasien untuk melanjutkan fungsinya kembali seperti sebelum sakit, dan kemampuan pasien untuk mandiri. Salah satu skala ukur yang sering dipakai untuk pasien menggambarkan kecacatan akibat stroke adalah skala Rankin.

Penelitian di Argentina menunjukkan bahwa kurang ebih sepertiga pasien stroke pulih sempurna/ hampir sempurna dalam waktu 6 bulan pasca serangn stroke. Kecacatan ringan dialami pada 12,2%, kecacatan sedang pada 25,7%, dan kecacatan berat 26,3%. Pasien dengan tingkat kecacatan yang berat tidaklah dapat mandiri. Sebagian besar aktivitas kehidupannya memerlukan bantuan, bahkan sampai aktivitas kehidupan yang paling dasar sekalipu (makan, berkemih, dan mandi) (Melcon, 2006). Penelitian lain di Amerika Serikat memperlihatkan bahwa lebih dari separuh (55%) pasien stroke sumbatan dapat mandiri dalam waktu 3 bulan pasca serangan. Ada 18% pasien yang mengalami kecacatan berat, dan memerlukan bantuan dalam banyak aspek kehidupannya. Faktor yang berperan adalah keparahan stroke pada saat awal. Stroke yang menunjukkan derajat kparahan yang tinggi saat serangan lebih sering dihubungkan dengan kecacatan pasca stroke. Keparahan derajat stoke tentu pula berhubungan dengan kecepatan mendapat pertolongan medis yang adekuat (Johnston dan Wagner, 2006). Segera kenali gejala stroke, segera minta pertolongan medis untuk mencegah kecacatan stroke.

Dampak stroke

Bagi para stroke survivor, masalah belumlah selesai. Stroke dapat memberikan gejala sisa atau dampak lanjut. Bagi para stroke survivors, pencegahan serangan stroke ulang dan penanganan gejala sisa stroke merupakan hal yang utama. Berbagai dampak pasca stroke adalah depresi, kepikunan, gangguan gerak, nyeri, epilepsi, tulang keropos, dan gangguan menelan. Penanganan bersifat individual sesuai kondisi pasien. Salah satu gejala sisa yang sering dialami pasien stroke adalah kepikunan. Kepikunan (demensia) akibat stroke dapat terjadi dengan segera, atau bertahap sampai dengan 3 bulan pasca stroke. Kejadian demensia pasca stroke adalah berkisar antara 6%-32%. Usia yang tua, hipertensi, dan dislipidemia merupakan faktor yang berperan besar untuk munculnya pikun pasca stroke. Pikun lebih sering dijumpai pada stroke di otak besar (cerebrum) dibanding otak kecil (cerebelum) (Henon, 2006). Penelitian Rasquin, dkk (2005) pada 156 pasien stroke menunjukkan bahwa gangguan memori dijumpai pada 23,4% (hampir seperempat dari seluruh pasien stroke) dalam 1 bulan pasca stroke. Gangguan lain yang seringkali teramati adalah gangguan bicara (18,6%), gangguan berhitung (51,6%), dan depresi (49%).

Stroke tidak hanya memiliki dampak pada penyandangnya saja. Stroke berdampak pula pada keluarga penyandang. Ada rasa cemas, rasa sedih, ketakutan, dan bahkan putus asa. Seorang ayah dan suami yang dahulu beegitu gagah dan mandiri, tiba-tiba menjadi begitu tergantung dalam berbagai aspek kehidupan. Keluarga pasien stroke seringkali bertanya “kapan bapak/ ibu akan kembali seperti semula?”. Pada umumnya mereka akan mencoba banyak cara agar penyandang stroke dapat pulih kembali. Berbagai usaha medis dan non medis pun akan dicoba.

Stroke tidak hanya berdampak bagi penyandangnya, namun juga bagi keluarganya. Penelitian Smith, dkk (2004) pada 90 orang keluarga dekat penderita stroke menunjukkan bahwa 32,2% mengalami kecemasan terkait kondisi stroke penderita, 33,3% merasa kesehatannya menurun, dan 14,4% mengalami depresi ringan. Penelitian lain pada 64 kerabat pasien stroke memperlihatkan bahwa stroke berdampak pada gangguan fungsi sosial, fisik, dan mental bagi keluarga penyandang stroke (suami/ istri, anak, dan kerabat lain) (Scholle, dkk, 2006). Stroke secara langsung akan berdampak pada tersitanya waktu keluarga penyandang stroke. Penelitian van Excel, dkk (2005) pada 151 pasien stroke dan keluarganya menunjukkan bahwa seorang keluarga penderita stroke rata-rata menghabiskan waktu 3,4 jam sehari untuk bersama pasien stroke (mengantar ke dokter, mandi, dan berpakaian), dan 10,8 jam sehari untuk tugas mengawasi paien stroke (mengawasi saat jalan dan makan).

Penutup

Pada akhirnya kita semua diingatkan untuk terus mewaspadai stroke sebagai pembunuh nomor tiga dan penyebab kecacatan nomor satu. Prof Vladimir Hachinski pada pembukaan World Stroke Congress (24-27 September 2008) di Vienna Austria mengingatkan pentingnya untuk melakukan intervensi yang lebih dini. Intervensi lebih dini dengan mengendalikan faktor risiko tentulah diharapkan untuk memberi hasil yang lebih baik. Hal ini pernah diungkapkan Ovidius Naso (seorang penyair Romawi) 2000 tahun yang lalu “Act before disease has gained strength

0 comments:

Posting Komentar