Rabu, 25 November 2009

Manajemen Adenoma Hipofisis

Salah satu tumor otak yang cukup sering ditemukan adalah adenoma hipofisis. Tumor ini merupakan tumor primer intrakranial ketiga tersering setelah glioma dan meningioma dengan angka kejadian sekitar 10-25%.
Terdapat berbagai perbedaan dalam pengklasifikasian tumor hipofisis atau adenoma hipofisis. Berdasarkan hormon yang dihasilkan, tumor ini dikelompokkan sebagai berikut: Tumor yang memproduksi hormon pertumbuhan (growth hormone/GH) dinamakan sebagai adenoma somatotroph, tumor yang menyebabkan hiperprolaktinemia disebut sebagai prolaktinoma atau adenoma laktatroph, tumor yang memproduksi kedua hormon tersebut dinamakan adenoma mamasomatotroph. Adenoma tyrotroph merupakan adenoma yang jarang dan menghasilkan TSH (thyroid stimulating hormone) serta menyebabkan sindroma hipertiroid. Adenoma lain menghasilkan hormon Adrenocoticotropic hormone (ACTH) dan disebut adenoma kortikotroph. Sedangkan tumor yang menghasilkan hormon gonadotropin (Follicle-stimulating hormone/FSH dan Luteinizing hormone/LH) disebut dengan adenoma gonadotroph. Selain itu adenoma juga dikarakteristikkan sebagai mikroadenoma bila ukuran diameternya kurang dari 10 mm dan makroadenoma jika lebih.
Pada pasien yang datang dengan kecurigaan suatu massa di sella harus dipastikan apakah tumor tersebut tergolong fungsional atau tidak. Untuk itu kita harus mengevaluasi beberapa kadar hormon dalam tubuh pasien diantaranya kadar serum dari prolaktin, GH, insulin-like growth factor-1 (IGF-1), kortisol (pagi dan sore), FSH, LH, TSH, dan tiroksin. Juga dilakukan pemeriksaan kadar elektrolit dan foto polos toraks. Hal tersebut dilakukan karena terapi operatif, radioterapi, dan teknik radiosurgikal tidak mempengaruhi gejala yang timbul akibat produksi hormonal yang berlebihan.

Prolaktinoma
Tumor fungsional hipofisis yang paling sering terjadi adalah prolaktinoma. Ketika kita menemukan prolaktin serum pada pasien meningkat, secara kritis kita harus mendeferensiasi penyebabnya apakah suatu tumor hipofisis yang memproduksi prolaktin atau efek dari stalk. Biasanya kadar prolaktin tidak meningkat hingga > 150ng/ml pada efek stalk. Dahulu tumor ini diterapi secara konvensional dengan agonis dopamin, tapi akhir-akhir ini dengan berkembangnya teknologi kedokteran, terapi bergeser pada metoda reseksi masa tumor dengan operasi bedah mikro. Operasi transfenoid telah banyak dilakukan pada tumor ini. Penyembuhan jangka panjang pada tindakan ini sekitar 50%-60% pada mikroadenoma dan 25% pada makroadenoma.
Meskipun demikian terapi lini pertama pada prolaktinoma adalah medikamentosa menggunakan bromokriptin suatu agonis dopamin untuk mengatasi hiperprolaktinomanya. Bromokriptin akan berikatan dan menstimulasi reseptor dopamin (D2) dan sel laktotroph adenomatous dalam keadaan normal. Terapi ini akan menghasilkan normoprolaktinemia atau mengembalikan menstruasi ovulasi pada 80-90% pasien dan sekitar 77% pasien mengalami pengecilan massa tumor. Biasanya pengecilan massa tumor ini tidak hanya diikuti perbaikan lapang pandang dan reduksi dari hiperprolaktinemianya tetapi juga perbaikan dari fungsi hipofisis lainnya.
Terapi bromokriptin biasanya dimulai dengan dosis 1.25 mg/hari pada saat makan malam. Dosis ditingkatkan bertahap hingga 2.5 mg 2 kali/hari berbarengan dengan makan selama 7 hari. Kadar prolaktin diukur setelah 1 hingga 2 bulan. Dosis hingga 7.5 mg/hari diberikan pada pasien dengan massa tumor yang sangat besar. Secara keseluruhan terapi jangka panjang dengan bromokriptin dapat ditoleransi. Efek samping yang sering muncul berupa mual, muntah, sakit kepala, hipotensi ortostatik, reaksi psikotik dan penebalan pleura atau retroperitoneal. Pada beberapa penelitian disebutkan terapi bromokriptin ini dapat menurunkan rekurensi hiperprolaktinemia pada 10-20% kasus. Pada 70-80% pasien yang massa tumornya mengecil dengan terapi bromokriptin, tidak mengalami reekspansi massa tumor setelah terapi dihentikan.
Terapi bromokriptin jangka panjang dapat mencetuskan kejadian fibrosis pada tumor sehingga akan meningkatkan derajat kesulitan operasi. Yosum et.al melaporkan terjadinya perdarahan pada 45% pasien yang diterapi dengan bromokriptin. Sedangkan pada kelompok tanpa bromokriptin perdarahan hanya 13%.
Beberapa obat lain seperti pergolid, quinolon, dan cabergolin dapat digunakan dan terbukti sama efektifnya dengan Bromokriptin serta memiliki efek samping yang lebih kecil. Dosisnya dapat dilihat pada tabel berikut.

Medikasi Dosis
Bromokriptin 1.25 mg oral saat makan malam dapat ditingkatkan dengan penambahan 1.25 mg/minggu hingga dosis 3.75 mg p.o bid
Pergolide 50 ug perhari. Peningkatan dengan 100 ug tiap 3 hari selama 12 hari, kemudian 250 ug tiap 3 hari hingga dosis optimal tercapai
Cabergoline 0.5 mg p.o 2x/minggu. Peningkatan dengan 0.25 mg 2x/minggu sampai efek tercapai. Peningkatan dosis jangan lebih sering dari tiap 4 minggu
Octreotide 50 ug sc tiap 8 jam. Peningkatan dengan 50 ug tiap 8 jam, diikuti dengan pengukuran kadar GH 0 dan 8 jam setelah injeksi dan atau dengan menentukan kadar IGF-1 tiap 2 minggu
Octreotide-LAR 20-30 mg im tiap 4 minggu selama 3 bulan (jangan diberikan sc atau iv)

Akromegali
Terapi reseksi operasi pada adenoma yang memproduksi GH merupakan terapi pilihan pertama. Angka kesembuhan dengan reseksi ini sekitar 80-90% pada mikroadenoma dan 50% pada makroadenoma.
Terapi akromegali lainnya yang juga efektif adalah dengan analog somatostatin seperti octreotide. Dosis 50-500ug sc tiap 8 jam dikatakan efektif menurunkan kadar GH selama terapi jangka panjang, namun sekitar 35% pasien tidak berespon terhadap terapi ini. Pengecilan massa tumor dibuktikan secara radiografik pada 40% pasien yang diterapi dengan 300-750ug octreotide /hari.
Kriteria kesembuhan bila kadar GH kurang dari 2 ng/ml setelah 70-100gr pemberian glukosa oral dan penurunan kadar IGF-1 hingga kadar normal.
Efek samping yang biasanya timbul yaitu gangguan saluran cerna seperti diare, nyeri perut, dan mual. Efek samping serius berupa timbulnya batu empedu ditemukan pada sekitar 23.5% pasien.
Agonis dopamin, seperti bromokriptin dapat digunakan untuk tatalaksana akromegali dengan dosis yang lebih tinggi sekitar 20-30mg/hari. Beberapa laporan menyarankan terapi kombinasi octreotide dan bromokriptin agar lebih efektif. Namun terapi dengan octreotide saja masih menjadi terapi utama untuk akromegali.

Penyakit Cushing
Hingga saat ini belum ada konsensus untuk mendiagnosis penyakit Cushing. Pemeriksaan kadar kortisol urin bebas 24 jam merupakan tes pertama yang dilakukan ketika hiperkortisolisme dicurigai secara klinis. Pengukuran kadar kortisol di saliva sangat mudah dilakukan dan menunjukkan sensitivitas yang baik untuk mendeteksi sindrom Cushing, tapi tidak menjadi tes rutin. Tes supresi dengan dosis rendah dan dosis tinggi dexametason sering digunakan untuk menjaring hiperkortisolisme dan untuk mendiagnosa penyakit Cushing. Pada dosis rendah tes dexametason memiliki akurasi spesifitas sekitar 74%, sensivitas 79%, dan kemampian diagnostik 71%. Pada tes dosis tinggi dilaporkan hasil negatif palsu pada 13% pasien dan positif palsu pada 26% pasien yang mengalami produksi ektopik ACTH.
Terapi optimal pada adenoma yang menghasilkan ACTH adalah operasi reseksi. Rata-rata remisi mencapai 91% pada mikroadenoma dan 56% pada makroadenoma. Dilaporkan rata-rata rekurensi pada 10 tahun pertama sekitar 12% pada dewasa dan 42% pada anak-anak. Bila operasi transfenoid gagal, dapat dilakukan adrenalektomi bilateral yang efektif untuk menghilangkan hiperkortisolemia tetapi tidak akan mengobati kelebihan dari produksi ACTH. Untuk mengatasinya dapat diberikan obat-obatan yang bekerja di tingkat hipotalamus, hipofisis hingga reseptor kortisol perifer.
Serotonin antagonis seperti Cyproheptadin sebanyak 24-32mg/hari, memberikan remisi sekitar 30%-50% kasus. Ritanserin 10-15 mg/hari dapat menormalkan kadar ACTH dan level kortisol pada 2-3 pasien. Efek samping yang ditimbulkan berupa somnolen dan hiperfagia. Dopamin agonis seperti bromokriptin dengan dosis 3.75-30 mg/hari dapat menurunkan kadar ACTH pada 50% pasien begitu juga dengan GABA agonis sodium valproate (600-1200 mg/hari) secara indirek dapat menurunkan kadar ACTH plasma.
Obat-obatan lainnya yang bekerja sentral dapat juga diberikan seperti obatan yang bekerja langsung sebagai inhibitor steroidogenesis, antara lain, Mitotane 2-4g/hari dan pada kasus refrakter diberikan 8-12g/hari. Efek samping yang ditimbulkan berupa anorexia, diare, somnolen dan hiperkolesterolemia. Metyrapone 750-1000mg/hari dan aminoglutethimide 500-750mg baik secara kombinasi atau sendiri dilaporkan dapat mengontrol penyakit Cushing jangka panjang, dengan memperhatikan efek sampingnya seperti hirsustisme, hipokalemi, dan edema. Obat lainnya yaitu ketokonazole 600-1200mg/hari dilaporkan menunjukkan hasil yang baik untuk mengontrol penyakit Cushing. Mengingat sulitnya memprediksi efikasi dari beberapa obat dan efek samping pada beberapa pasien, maka belum ada strategi pengobatan yang distandarisasi untuk penyakit Cushing ini.

Adenoma tyrotroph, gonadotroph, dan nonfungsional
Adanya massa hipofisis tanpa disertai hiperprolaktinemia, akromegali maupun penyakit Cushing mengarahkan diagnosis pada suatu adenoma gonadotroph. Terapi operasi debulking pada kasus ini merupakan pilihan terapi bila ditemukan gangguan lapang pandang yang berhubungan dengan kompresi pada kiasma optikum. Suatu seri operasi transfenoid pada 3000 kasus adenoma hipofisis, dikatakan terdapat perbaikan visual pada 81% pasien, 15% tidak terdapat perbaikan, dan 4% memburuk. Penggunaan somatostatin analog dan agonis dopamin pada simptomatik adenoma gonadotroph telah dibatasi penggunaannya karena kurangnya efikasi dari obat ini.
Adenoma tyrotroph merupakan kasus yang sangat jarang kurang dari 1% dari seluruh kasus tumor hipofisis. Operasi menjadi terapi yang optimal pada kasus ini. Pada kasus dengan gejala hiperfungsi dari hormon tiroid dapat diberikan terapi tambahan somatostatin analog.

Operasi Tumor Hipofisis
Ada 2 indikasi penting terapi operatif pada kasus tumor hipofisis yaitu untuk mengurangi efek massa (yang biasanya mempengaruhi fungsi visual) dan mencoba untuk menyembuhkan gejala hiperfungsi hormonal. Prosedur operasi yang biasa dipakai sekarang adalah reseksi transfenoid transeptal. Secara tradisional hal ini dikombinasi dengan insisi sublabial untuk membuka lapang pandangan operator terhadap sinus sfenoid dan lantai dari sella tursika.
Sekarang ini telah dikenal teknologi endoskopi. Hal ini akan membantu pendekatan secara endonasal untuk mengurangi waktu penyembuhan pasien pasca operasi dan mengurangi komplikasi rinologi. Dengan pendekatan ini pasien dapat dipulangkan dalam 24 jam.
Secara keseluruhan angka morbiditas dan mortalitas pada prosedur operasi transfenoid ini sangat rendah. Resiko bocornya cairan serebrospinal sekitar 3.9%, insidens meningitis 1.5%, resiko hilangnya pandangan 1.8%, oftalmoplegi,1.4%, dan insufisiensi hipofisis anterior 17.8%. Resiko lain yang ditakuti berupa trauma arteri karotis sekitar 1.1%.

Radioterapi
Radioterapi dilakukan sebagai terapi tambahan pada kasus residu dan rekurensi adenoma hipofisis. Radioterapi dapat mengontrol tumor dan menurunkan morbiditas pasien. Akhir-akhir ini radioterapi direkomendasikan untuk kasus tumor hipofisis dengan hiperproduksi hormonal yang tidak dapat dikontrol dengan obat-obatan, kasus dengan residu tumor yang masih besar setelah dilakukan operasi, dan pasien dengan pertumbuhan kembali tumor dari residu pasca operasi atau kasus rekurensi.
Radioterapi diberikan dengan dosis 45 dan 54 Gy dalam 25 hingga 30 fraksi dari 180 cGy, biasanya 50.4 Gy dalam 28 fraksi. Radioterapi beresiko menginduksi neuropati optik sekitar kurang dari 2%. Modalitas ini dapat mengontrol tumor selama 10 tahun pada 98% kasus adenoma nonfungsional, 85% kasus adenoma yang mensekresi GH, 83% kasus prolaktinoma, dan 67% kasus penyakit Cushing. Efek samping lainnya berupa defisiensi hormonal. Oleh karena itu sangatlah penting untuk memonitor status endokrin pasien diikuti follow up imajing dan lapang pandang pasien.

Stereotactic radiosurgery
Stereotactic radioseurgery menggunakan beberapa macam alat, diantaranya gamma knife, liniar accelerators yang dimodifikasi dan proton dari cyclotron. Saat dilakukan prosedur ini pasien disedasi dengan oral benzodiazepine.
Untuk tujuan menghambat pertumbuhan tumor digunakan dosis 14 Gy atau lebih bila batas tumor memungkinkan. Bila tujuannya untuk mengembalikan fungsi dari endokrin, dosis yang lebih tinggi dapat diberikan yaitu sekitar 25 Gy atau lebih tergantung batas tumor. Untuk mengurangi kemungkinan terganggunya fungsi pandangan pasca tindakan radiosurgery, dosis pada sistem visual dibatasi hingga 10 Gy jika memungkinkan.
Komplikasi yang paling umum terjadi pada tindakan ini yaitu disfungsi dari hipofisis anterior dimana 15% membutuhkan terapi hormonal tambahan. Sekitar 2% pasien mengalami neuropati saraf kranial seperti defek lapang pandang dan diplopia. Komplikasi lain berupa nekrosis pada lobus temporal akibat radiasi.
Tindakan ini terbukti efektif pada beberapa kasus. Pada analisis selama 3 tahun didapatkan angka kesembuhan adenoma hipofisis fungsional pada 75% kasus. Penelitian lain pada kasus tumor yang lebih kecil terdapat kesembuhan hormonal pada 90% kasus.(Red/mesiano)

0 comments:

Posting Komentar